Lirik Lagu Kumpulan Puisi Cerita Lucu Pola Hidup Sehat
Matematika Fisika Kimia Biologi Teknologi Sosiologi Ekonomi Sejarah Geografi Antropologi Seni Agama Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Bali Kewarganegaraan Penjaskes
Lowongan Kerja Bisnis Online Peluang Usaha Marketing
Tips Kecantikan Pola Hidup Sehat Makanan Sehat Jerawat
SMS Lucu SMS Motivasi SMS Cinta
Tips Blog Tips SEO Tips Komputer Tips Internet Tips Kecantikan Tips Kehidupan Tips Lain
Kata Mutiara Cerita Motivasi Gosip Artis TipsTrik Lain-lain
Wednesday, October 26, 2011 | 6:28 AM | 0 Comments

Sejarah Pura Gumang-Sejarah

hSejarah Pura Gumang

Tahukah teman-teman bagaimana sejarah pura gumang, langsung saja saya berikan info asal mula pura gumang ,

  
Saat I Dewa Gede datang dari Jawa ke Bali tidak banyak penduduk Bali hirau dengan keberadaan I Dewa Gede. Pada mulanya I Dewa Gede ke Bali bukanlah ingin menjadi tokoh. I Dewa Gede ke Bali bertujuan untuk mencari kehidupan yang tenang dan damai. Ternyata di Bukit Juru itulah I Dewa Gede mendapatkan ketenangan hidup sebagai seorang petani biasa. Lebihnya dengan seorang petani biasa hanya melakukan upaya sekala dan niskala secara seimbang dalam hidupnya sebagai seorang petani yang mohon hidup dari usahanya sebagai petani.

===========================================
Sebagai petani I Dewa Gede tidak semata-mata menanam tumbuh-tumbuhan pangan saja. I Dewa Gede juga mengusahakan menanam pohon-pohonan yang di Bali disebut tanem tuwuh. Fungsi tanem tuwuh itu adalah untuk menguatkan tanah sebagai penyimpan air hujan yang turun sesuai dengan musimnya. Dengan usahanya itu muncullah berbagai mata air bahkan sampai muncul sungai yang dapat mengalirkan air sepanjang tahun ke daerah pertanian penduduk.

Usaha I Dewa Gede di samping mengembangkan tanaman pangan dan tanem tuwuh itu disertai dengan melakukan Yoga Semadi setiap hari dan lebih khusus lagi pada hari-hari subha diwasa. Apa yang dilakukan oleh I Dewa Gede itu sangat yakin tidak ada maksud untuk mencari nama dan agar beliau ditokohkan oleh masyarakat. Apa yang beliau lakukan itu sangat yakin tanpa pamerih.

I Dewa Gede melakukan hal itu karena merasakan bersama masyarakat petani betapa beratnya sebagai petani tanpa ada air yang memadai. Panasnya hidup sebagai petani dengan air yang tidak memadai I Dewa Gede bersama dengan masyarakat yang senasib bekerja dan berdoa mengolah alam dengan penuh kasih sayang dan bakti pada Tuhan.

Usahanya bersama masyarakat petani ini ternyata berhasil. Dari keberhasilannya inilah I Dewa Gede dari Jawa ini mendapatkan simpati masyarakat. Beliau pun dijadikan tokoh oleh masyarakat dengan usahanya sukses melestarikan alam. Di alam yang lestari itulah masyarakat dapat membangun kehidupan yang sejahtera.

Inilah hakikat Indra Brata sebagaimana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra IX.304 dan juga dinyatakan juga dalam kekawin Ramayana sebagai salah satu unsur Asta Brata. Pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang dikehendaki oleh rakyat. Bagaikan air samudera yang menguap karena panasnya matahari. Setelah di angkasa menjadi mendung, terus turun menjadi hujan membuat suburnya tanah dan menjadi sumber kehidupan makhluk hidup di bumi ini.

Demikianlah hakikat Indra Brata yang mestinya dijadikan pegangan dalam kepemimpinan Hindu seperti di Bali ini. Memang seorang pemimpin yang baik bukan yang menghendaki menjadi pemimpin tetapi yang dikehendaki oleh masyarakat luas. Orang yang dikehendaki oleh masyarakat luas.

Orang yang dikehendaki menjadi pemimpin itu bukan dengan merekayasa kehendak rakyat dengan mendadak menaruh belas kasihan pada rakyat serta menghambur-hamburkan uang membantu rakyat. Setelah menjadi pemimpin bergelimangan fasilitas hidup dengan menggunakan uang rakyat.

Dari usaha sekala-niskala I Dewa Gede inilah turunnya karunia Tuhan berupa suburnya daerah Bugbug dan sekitarnya di Karangasem. Inilah yang melatarbelakangi adanya Pura Gumang di Bukit Juru Karangasem. Piodalan di Pura Gumang ini setiap Purnama Sasih Kapat. Penyungsung pura ini ada lima desa yaitu Desa Bubug, Desa Jasi, Desa Bebandem, Desa Datah, dan Desa Ngis.

Masyarakat Bugbug yang tinggal di daerah Buleleng pun merasa bertanggung jawab ikut serta ngempon Pura Gumang ini, karena Desa Bugbug sebagai pengempon ngarep dari Pura Gumang. Desa Bugbug tempat Pura Gumang berada terdiri atas tujuh banjar dengan ratusan kepala keluarga. Tidak semua kepala keluarga mendapatkan sawah garapan. Tetapi bagi yang mendapat sawah dengan dialiri air dari sumber mata air dan sungai di Bugbug itu wajib ngayah ke Pura Gumang atau memiliki kewajiban yang lebih dari kepala keluarga yang lainnya.

Sawah-sawah itu memang hak milik pribadi yang dapat dijual kepada pihak lain. Tetapi siapa pun yang memiliki sawah tersebut selanjutnya wajib ngayah yang lebih ke Pura Gumang. Hal ini mungkin menyangkut Pura Gumang yang diyakini sebagai sumber kesuburan dari sawah-sawah yang ada di sekitar daerah Bugbug.

Setiap upacara piodalan pada Purnamaning Sasih Kapat umumnya ada upacara Nyejer selama dua hari. Umumnya Pura-pura yang lainnya nyejer tiga hari sampai sebelas hari. Nyejer tiga hari ini mengandung makna pendakian spiritual dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi mencapai Swah Loka. Tetapi khusus Pura Gumang upacara nyejer-nya cukup dua hari. Dua hari nyejer ini nampaknya sebagai simbol pemujaan bertemunya Purusa Pradana atau bertemunya Lingga dan Yoni.

Pemujaan Purusa dan Pradana atau Lingga Yoni ini sebagai pemujaan untuk memohon kesuburan pertanian. Karena itu nyejer dua hari itu sebagai pesan spiritual untuk terus konsisten melakukan upaya yang seimbang menjaga kesuburan daerah pertanian. Kata nyejer dalam bahasa Bali artinya terus teguh dan tegak atau konsisten.

Dalam hidup ini memang akan ada saja pasang-surutnya atau suka dukanya. Ada saja kemungkinan hambatan, gangguan dan tantangan. Kalau semuanya itu dihadapi dengan sikap yang nyejer atau teguh dengan konsisten berpegang pada kebenaran dalam melakukan swadharma maka semuanya itu akan menjadi kekuatan tersendiri. Jadinya nyejer itu sebagai pesan spiritual dalam wujud ritual agar umat konsisten pada prinsip-prinsip hidup berdasarkan dharma dalam menghadapi dinamika kehidupan apalagi sebagai petani amat tergantung pada keadaan alam.

Bhagawad Gita II. 15 menyatakan samaduhkhasukham dhiram. Artinya seimbang dan teguhlah menghadapi dinamika suka dan suka. Dalam Subha Sita ada dinyatakan Sukhamdukham Jayate. Artinya, menanglah melawan suka dan duka. Ini artinya kebahagiaan itu adalah berada di atas suka dan duka. Kalau suka sedang menghampiri hidup kita, maka kita pun tidak lupa diri sampai menjadi orang yang sombong egois. Sebaliknya kalau duka yang datang tidak mudah frustrasi dan putus asa menghadapi hidup ini. Jadinya nyejer itu mengingatkan umat untuk bersikap konsisten menghadapi dinamika hidup.

Diambil dari http://iwbjakarta.blogspot.com  ,dengan beberapa editan.

Itu dia sejarah pura gumang ,jangan lupakan sejarah

0 comments:

Post a Comment

Copyright Informasi|Tips-Trik|Belajar © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.